Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dianggap mampu untuk memberikan solusi yang tepat terhadap tingginya kebutuhan hunian yang layak bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Meski demikian, pembangunan rusunawa juga dapat memunculkan dampak negatif, baik yang berkaitan dengan kualitas fisik hunian serta interaksi sosial di dalamnya, termasuk dampak-dampak terhadap kesejahteraan psikologis dalam menghuni dari para warga Rusunawa.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa prasarana lingkungan rusunawa yang tidak memadai menyebabkan produktivitas dan aktivitas kerja sehari-hari warga huni menurun. Selain itu, kualitas ruang hunian yang tidak mencukupi kebutuhan warga huninya berdampak pada perkembangan psikologis yang tidak baik, bahkan juga berdampak pada konflik sosial antarwarga huni. Kesejahteraan psikologis inilah yang menjadi topik penelitian Intan Rahmawati dalam disertasinya.
“Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika kesejahteraan psikologis atau housing wellbeing pada warga huni rusunawa DIY dengan menggunakan pendekatan penelitian yang terdiri dari enam langkah, yaitu tahap permulaan, melakukan diagnosis, membuat rencana tindakan, melakukan tindakan, melakukan evaluasi, dan melakukan refleksi,” ujarnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Psikologi UGM, Kamis (27/7).
Dosen Jurusan Psikologi di Universitas Brawijaya Malang ini menjalankan penelitiannya di Rusunawa Dabag yang menjadi lokasi percontohan pemerintah daerah setempat dan dianggap memiliki kompleksitas masalah yang lebih banyak daripada rusunawa lainnya di DIY. Pada tahap diagnosis, ujarnya, diketahui rasa komunitas dan kontrol sosial yang berada dalam dinamika interaksi antara individu dengan tempat tinggalnya yang melibatkan proses kognitif, afektif, dan perilaku menjadi persoalan utama di rusunawa.
“Integritas dan koneksi sosial merupakan dua hal yang membutuhkan perhatian khusus pada dimensi rasa komunitas. Sementara itu, dalam kontrol sosial, komitmen dan keterlibatan merupakan dua hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menghasilkan keseimbangan sistem tinggal di rusunawa,” papar Intan.
Hasil diagnosis tersebut menjadi pijakan dalam penelitian tindakan dengan melakukan psikoedukasi housing wellbeing berbentuk diskusi kelompok yang diberikan kepada 10 orang warga huni dan 5 orang pengelola. Dari tahapan ini, warga huni rusunawa merefleksikan perasaan sejahtera tinggal dengan istilah “pomah” yang mensyaratkan guyub, rukun, dan tertib.
Berdasarkan hasil penelitian tindakan ini, Intan merekomendasikan perlunya pemberian kesiapan tinggal di hunian vertikal yang melibatkan warga huni baru, perwakilan warga huni dalam paguyuban, dan pengelola.
“Ini sebagai upaya membangun persiapan perubahan budaya tinggal dari hunian tapak ke hunian vertikal bagi warga huni baru rusunawa,” imbuhnya. (Humas UGM/Gloria)
sumber: ugm.ac.id